Kamis, 08 Oktober 2015

Lactobacillus plantarum



Top of Form
Bottom of Form
Lactobacillus plantarum adalah anggota luas dari genus Lactobacillus, biasanya ditemukan dalam banyak produk makanan fermentasi serta materi tanaman anaerobik. Hal ini juga hadir dalam air liur (dari yang pertama kali diisolasi). Ia memiliki kemampuan untuk mencairkan gelatin. [1] L. plantarum memiliki salah satu genom terbesar yang dikenal di antara bakteri asam laktat dan merupakan spesies yang sangat fleksibel dan serbaguna.
Metabolisme
L. plantarum merupakan bakteri Gram- positif aerotolerant yang tumbuh pada 15 ° C ( 59° F) tetapi tidak pada 45 ° C ( 113 ° F ) , dan menghasilkan kedua isomer asam laktat ( D dan L ) . Ini spesies dan lactobacilli terkait tidak biasa dalam bahwa mereka dapat bernafas oksigen tetapi tidak memiliki rantai pernapasan atau sitokrom [ rujukan? ] – Oksigen dikonsumsi akhirnya berakhir sebagai hidrogen peroksida. Peroksida , dianggap , bertindak sebagai senjata untuk mengecualikan bakteri bersaing dari sumber makanan. Di tempat enzim pelindung superoxide dismutase hadir di hampir semua sel oksigen toleran lainnya, organisme ini terakumulasi dalam jumlah millimolar polifosfat mangan. Mangan juga digunakan oleh L. plantarum dalam pseudo- katalase untuk menurunkan kadar oksigen reaktif. Karena kimia dimana kompleks mangan melindungi sel dari kerusakan oksigen digerogoti oleh besi, sel-sel ini mengandung hampir tidak ada atom besi , sebaliknya , sel Escherichia coli volume sebanding berisi lebih dari satu juta atom besi. Karena L. plantarum tidak dapat digunakan untuk menghasilkan enzim aktif yang memerlukan kompleks heme seperti catalases benar. Lactobacillus plantarum, seperti banyak spesies lactobacillus, dapat dibudidayakan menggunakan MRS media.
Bakteri ini memiliki sifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Gram negatif (Buckle et al., 1987). Lactobacillus plantarum bersifat toleran terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buckle et al., 1987).
Pengolahan pangan dan  pakan menggunakan  BAL adalah teknologi  yang telah ada sejak dulu yang dapat meningkatkan kandungan obat dan anti penyakit serta mencegah kebusukan dan perjangkitan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen (Elegado et al., 2004). Bakteri L. plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran, dan daging (sosis). Fermentasi dari L. plantarum bersifat homofermentatif sehingga tidak menghasilkan  gas  (Buckle  et al., 1987). Bakteri Lactobacillus   plantarum   terutama   berguna   untuk   pembentukan   asam   laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen dan Davidson, 1993). L. plantarum mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bakteriosin  yang berfungsi  sebagai zat antibiotik  (Jenie dan Rini, 1995).
Lactobacillus plantarum 2C12 merupakan isolat indigenus yang diisolasi dari daging sapi lokal Indonesia. Arief et al. (2008) melaporkan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan   bakteri   patogen   Escherichia   coli,   Salmonella   typhimurium   dan 3 Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba yang diproduksi oleh Lactobacillus sp. 2C12 mengandung bakteriosin. Bakteriosin merupakan senyawa protein (umumnya berupa peptida) yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme (bakteri) yang ditinjau dari segi filogeniknya (genetiknya) berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bakteriosin tersebut. Bakteriosin menurut Klaenhammer (1998) adalah protein atau peptida yang disintesa melalui ribosom yang dapat menghambat atau membunuh bakteri lain.  Saat ini  penggunaan  bakteri  asam  laktat  sebagai  penghasil  bakteriosin  di  bidang peternakan semakin bertambah luas, diantaranya sebagai biopreservatif. Produksi bakteriosin juga dapat menghambat perkembangan patogen yang mempunyai kekerabatan           dekat   dengan            bakteri penghasil         bakteriosin       (Wiryawan dan Tjakradidjaja, 2001).



Produk silase
Lactobacillus plantarum adalah bakteri yang paling umum digunakan dalam inokulan silase. Selama kondisi anaerobik makanan tandon, organisme ini dengan cepat mendominasi populasi mikroba dan dalam waktu 48 jam, mereka mulai menghasilkan asam laktat dan asetat melalui Pathway Embden – Meyerhof , lanjut mengurangi kompetisi mereka. Dengan kondisi tersebut, L. plantarum strain yang memproduksi tingkat tinggi protein heterolog telah ditemukan untuk tetap sangat kompetitif . Kualitas ini dapat memungkinkan spesies ini untuk dimanfaatkan sebagai pretreatment biologi yang efektif untuk biomassa lignoselulosa .
Produk Makanan
L. plantarum umumnya ditemukan dalam banyak produk fermentasi makanan termasuk sauerkraut , acar, buah zaitun brined , kimchi Korea, Nigeria Ogi , penghuni pertama , dan bahan tanaman lainnya yang difermentasi , dan juga beberapa keju , sosis fermentasi , dan ikan asin . Tingginya tingkat organisme ini dalam makanan juga membuat calon yang ideal untuk pengembangan probiotik . Dalam ‘ s studi Juana Frias et al . (2008 ) , L. plantarum telah diterapkan untuk mengurangi alergenisitas tepung kedelai . Hasil penelitian menunjukkan bahwa , dibandingkan dengan mikroba lain , L. plantarum – fermentasi tepung kedelai menunjukkan pengurangan tertinggi di IgE immunoreactivity ( 96-99 % ) , tergantung pada kepekaan plasma digunakan .
Terapi
Kemampuan L. plantarum untuk bertahan hidup dalam saluran pencernaan manusia membuatnya menjadi mungkin dalam kendaraan pengiriman vivo untuk senyawa terapeutik atau protein.



Properti antimicrobial
Kemampuan L. plantarum untuk menghasilkan zat antimikroba membantu mereka bertahan dalam saluran gastro-intestinal manusia. Zat antimikroba yang dihasilkan telah menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif.
Biokimia
Seluruh genom baru-baru ini telah diurutkan, dan perpustakaan promotor telah dikembangkan untuk ekspresi gen baik kondisional dan konstitutif, menambah utilitas L. plantarum. Hal ini juga sering digunakan sebagai organisme indikatif niacin percobaan bioassay, khususnya, AOAC International Metode Resmi 944,13, karena merupakan auxotroph niacin.

Phanerochaete chrysosporium



Phanerochaete chrysosporium
Jamur P. chrysosporium Burdsall,  termasuk dalam kelompok jamur pelapuk putih dan merupakan jamur kelas Basidiomycetes yang juga menyerang holoselulosa, namun pilihan utamanya adalah lignin. Klasifikasi jamur ini sebagai berikut, kelas Basidiomycetes, sub kelas Holobasidiomycetes, ordo Aphylophorales, famili Certiciaceae, genus Phanerochaete dan spesies P. chrysosporium Burdsall      (Irawati, 2006).
Phanerochaete chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan senyawa turunanya secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidasi ekstraseluler yang berupa Lignin Peroksidase (LiP) dan Mangan Peroksidase (MnP). Phanerochaete chrysosporium  adalah jamur pelapuk putih yang dikenal kemampuannya mendegradasi lignin (Sembiring, 2006).
Laconi (1998), menyebutkan bahwa fermentasi kulit buah kakao dengan Phanerochaete chrysosporium mampu menurunkan kandungan lignin sebesar 18,36%. Melihat kemampuan Phanerochaete chrysosporium dalam menghasilkan enzim lignolitik dan selulotik, kapang ini mampu menurunkan kandungan lignin dengan meningkatkan pertumbuhan kapang dan aktivitas enzim lignolitik.
Fermentasi Bungkil Inti Sawit (BIS) menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium, hasil terbaik dari penelitian untuk fermentasi BIS adalah pada dosis inokulum 5% dan waktu inkubasi 4 hari. Kandungan protein kasar meningkat dari I5,14% menjadi 25,08%, kandungan lemak kasar menurun dari 1,25% menjadi 1,01%, kandungan energi bruto menurun dari 4.330 kkal/kg menjadi 4.178 kkal/kg, kandungan serat kasar menurun dari 17,18% menjadi 13,64%, kandungan lignin menurun dari 17,52% menjadi 12,64%, Kandungan selulosa menurun dari 21,39% menjadi 19,84% dan kandungan hemiselulosa turun dari 50,37 menjadi 42,01%. Kecernaan protein BIS tanpa fermentasi 46,53% meningkat menjadi 80,86% (Sembiring, 2006).

Contoh Penelitian menggunakan Phanerochaete chrysosporium :

PENENTUAN LAMA FERMENTASI KULIT BUAH KAKAO DENGAN Phanerochaete chrysosporium: EVALUASI KUALITAS NUTRISI SECARA KIMIAWI


N e l s o n, S u p a r j o

Abstract

Bioconversion of cocoa pod husk (CPH) is a way to increase lignocellulosic substance quality. Fermentation process in bioconversion is affected by some factors as length of fermentation. This research was aimed to determine the optimum length of fermentation with Phanerochaete chrysosporium and evaluate CPH composition response. The length of fermentation periods were 0; 5; 10; 15; 20 and 25 days. Measured parameters were soluble substance, pH of substrate, chemical composition, loss of dry matter, organic matter, and lignin and ratio celluloce to lignin.  The results showed that crude protein content of fermented CPH was increased (P<0.05) compared to unfermented CPH. The highest lignin degradation (38.61%), the ratio of cellulose to lignin (1.25) and efficiency of biodegradation process (5.65) recorded at day 10 fermentation. It could be concluded that the optimum length of CPH fermentation was 10 days.
Keyword: Fermentation, cocoa pod husk, ratio cellulose to lignin, lignin degradation



FERMENTASI AMPAS TEBU (BAGASSE) MENGGUNAKAN Phanerochaete chrysosporium SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRODUK FERMENTASI RUMEN SECARA IN VITRO
Muhamad Alwi, Wardhana Suryapratama, FM Suhartati FM Suhartati

Abstract

Penelitian berjudul Fermentasi ampas tebu (bagasse) menggunakan Phanerochaete chrysosporium sebagai upaya meningkatkan produk fermentasi rumen Secara In vitro dilaksanakan pada Januari sampai April 2013. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cairan rumen sapi potong dan pakan kontrol ampas tebu : konsentrat (40:60) dengan susunan konsentrat yaitu 28% bungkil kelapa, 30% dedak, 1% garam dan 1% kapur (CaCO3). Metode penelitian adalah eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan yaitu A0 : Pakan yang mengandung ampas tebu tanpa fermentasi (Phanerochaete chrysosporium 0 gram), A1 : Pakan yang mengandung ampas tebu fermentasi menggunakan 5 gram Phanerochaete chrysosporium per kg ampas tebu (BK), A2 : Pakan yang mengandung ampas tebu fermentasi menggunakan 10 gram Phanerochaete chrysosporium per kg ampas tebu (BK), A3 : Pakan yang mengandung ampas tebu fermentasi menggunakan 15 gram Phanerochaete chrysosporium per kg ampas tebu (BK). Data dianalisis menggunakan analisis variansi dan dilanjutkan uji Orthogonal Polinomial. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan berpengaruh secara linear terhadap konsentrasi VFA dengan persamaan Y= 2.384 X + 64.72, r2 = 0.65, dan berpengaruh secara linear terhadap Sintesis Protein Mikroba rumen dengan persamaan Y= 0.5376 X + 19.808, r2 = 0.53, namun tidak berpengaruh terhadap konsentrasi NH3 (P>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa semakin tinggi taraf Phanerochaete chrysosporium (15 g/kg BK ampas tebu) dalam fermentasi ampas tebu semakin tinggi konsentrasi VFA dan Sintesis Protein Mikroba rumen. Hasil terbaik dari penelitian ini dicapai pada pakan yang difermentasi menggunakan Phanerochaete chrysosporium 15 gr/kg BK ampas tebu (A3).

Kata Kunci :  Phanerochaete chrysosporium, Fermentasi, Konsentrasi VFA Total, NH3 serta Sintesis Protein Mikroba Rumen.



Uji Ransum Berbasis Pelepah Daun Kelapa Sawit, Jerami Padi, Dan Jerami Jagung Fermentasi Dengan Phanerochaete chrysosporium Terhadap Produksi Non Karkas Sapi Peranakan Ongole (PO)
ABSTRACT
09E01598 Penelitian dilaksanakan di PTPN IV Kebun Laras, Kecamatan Bandar Huluan Kabupaten Simalungun Selama 3 bulan. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 27 Agustus sampai dengan bulan 20 November 2007. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum pelepah daun kelapa sawit, jerami padi dan jerami jagung yang difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium terhadap bobot non karkas, persentase non karkas serta persentase bobot saluran pencernaan sapi peranakan ongole (PO) Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 2 ulangan, dimana setiap ulangan terdiri dari 1 ekor sapi peranakan ongole dengan bobot rata-rata 206,89 Kg. Perlakuan yang diteliti adalah sebagai berikut P1 = Ransum pelepah daun kelapa sawit fermentasi, P2 = Ransum jerami padi fermentasi dan P3 = Ransum jerami jagung fermentasi. Dari hasil penelitian dengan pemberian ransum pelepah daun kelapa sawit, jerami padi dan jerami jagung yang difermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium diperoleh Rataan bobot non karkas sebesar 111,72 kg. Dengan bobot non karkas tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 118,90 kg dan yang terendah pada perlakuan P3 sebesar 100,68 kg. Rataan persentase non karkas (%) didapat sebesar 65,73% dengan persentase karkas tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 67,66% dan yang terendah pada perlakuan P3 sebesar 64,08%. Rataan persentase saluran pencernaan untuk perut + oesophagus sebesar 9,23% dengan persentase tertinggi pada perlakuan P1 sebesar 9,54% dan terendah pada perlakuan P2 sebesar 8.91%. Rataan persentase usus sebesar 4,81 dengan persentase tertinggi pada perlakuan P3 sebesar 5,27% dan terendah pada perlakuan P2 sebesar 4,55%. Dari hasil uji keragaman, menunjukan bahwa pemberian ketiga bahan ransum memberikan hasil yang tidak nyata (P>0,05) dan menunjukkan pengaruh yang sama terhadap bobot non karkas, persentase non karkas serta persentase bobot saluran pencernaan Kesimpulan penelitian adalah pemberian ransum diantara ketiga perlakuan yaitu pemberian ransum pelepah daun kelapa sawit fermentasi, jerami padi fermentasi dan jerami jagung fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium memberikan pengaruh yang sama terhadap bobot non karkas, persentase non karkas serta persentase bobot saluran pencernaan sapi peranakan ongole didasarkan kepada ketersediaan dan jumlah bahan ransum. The experiment was conducted in PTPN IV, Laras oil palm plantation, District of Bandar Huluan, Sub-Province of Simalungun during three months. The research was started since 27th August until 20th November 2007. The purpose of this experiment was to know the effect of usage oil palm fermented, rice straw and maize stalks fermented with Phanerochaete chrysosporium towards non carcass weight, non carcass percentage and also digestive channel percentage. The experiment design was using completely randomized design ( CRD ) by three treatment and two replications, each replications consists of one ongole cross-bred 206,89 kg average weight. The treatments was experiment P1 = ration of oil palm frond fermentation, P2 = ration of rice straw fermentation and P3 = ration of maize stalks fermentation. The result of obtained experiment showed that given rations based on oil palm frond, rice straw and maize stalks fermentation with Phanerochaete chrysosporium in averaged of non carcass weight was 111,72 kg. The highest average non carcass weight found in P1 for 118,90 kg and lowest average non carcass weight found in P3 for 100,68 kg. The average of non carcass percentation was 65,73% with the highest average non carcass percentation found in P1 for 67,66% and lowest average non carcass percentation found in P3 for 64,08%. The average of digestive channel for stomach + oesophagus was 9,23% with the highest percentation found in P1 for 9,54 and lowest found in P2 for 8,91. The avarage of intestine percentation was 4,81 with the highest percentation found in P3 for 5,27 and lowest found in P2 for 4,55. The result of statistic was test shown the among three ransom given not signifcantly different, feed giving not significantly (P>0,05) and showed that usage from experiment three ration have the same effect towards non carcass weight, non carcass percentage, and also digestive channel percentage. The conclusions of this experiment wich was the usage among three treatments is fermented oil palm frond, fermented rice straw and fermented maize stalks gives same effect towards carcass weight, non carcass percentage, and also digestive channel percentage comparison of ongole cross-bred by according quantity and quality get in ration materials. Ir. Tri Hesti Wahyuni, M.Sc. ; Hamdan, S.Pt. M.Si